Senin, 10 April 2017

Kisah Abu Ayyub al-Anshary; Rumahnya Dijadikan Tempat Tinggal Nabi saw.

jadipintar.com.Depok-- Beliau yang berasal dari bani Najjar, lahir pada 587M yaitu 16 tahun lewat dari tahun kelahiran Rasulullah saw. Beliau adalah seorang sahabat yang sangat mulia. Dia dan istrinya adalah sekelompok sahabat Rasulullah saw yang membela kemuliaan Aisyah r.a. saat terjadi gelombang fitnah yang tercetus setelah peristiwa Perang al-Muraisi. Dia mengecam kepala munafik, Abdullah bin Ubay yang bertanggung jawab mengugat kemuliaan ummul mukminin yang dituduh berkhalwat dengan Safwan bin al-Muwattal. Ia mendapatkan kehormatan menjadi tuan rumah Rasulullah ketika Nabi Muhammad saw. hijrah dari Mekkah ke Madinah. Ia mengikuti setiap pertempuran dalam membela Islam. Sampai pada zaman Muawiyah bin Abu Sufyan, Ia ikut bertempur melawan kekaisaran Romawi. Ia dimakamkan di Konstantinopel. Pada zaman pemerintahan Muhammad al-Fatih memerintah Kesultanan Utsmaniyah, Ia dijadikan idola sebagai pahlawan yang membebaskan kota Konstantinopel. 

1. Mendapat Kehormatan dari Rasulullah saw. 

Ketika Rasulullah saw. memasuki Madinah, setiap orang berlomba-lomba agar beliau berhenti di rumahnya. Namun, Rasulullah shallallahu saw. menunjuk ke arah untanya dan berkata, “Biarkanlah unta ini. Sesungguhnya unta ini telah diperintahkan.” Di depan rumah Malik bin Najjar, duduklah unta tersebut di dekat rumah Abu Ayub al-Anshari, Khalid bin Zaid. Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan. Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri karena kegembiraan yang membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya, kemudian mempersilakan Rasulullah masuk ke dalam rumah. Nabi saw. pun mengikuti sang pemilik rumah. Selama membangun masjid dan rumah, Rasulullah saw. menetap di kediamannya dan Abu Ayub sungguh-sungguh memuliakan kunjungan Rasulullah saw.. Ia bersama istrinya melayani beliau dengan pelayanan sebaik-baiknya. Siapakah orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan Rasulullah dalam hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk mengharapkan Nabi mampir dan singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar. 

2. Anggota Bai'at Aqabah ke-2

Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam bai'at Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela. Dan kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah terlimpahkan kepada Abu Ayub, karena rumahnya dijadikan tempat pertama yang didiami Rasulullah. Aktif di Setiap Arena Jihad Sejak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktifitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam Perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pendek kata, hampir di tiap medan tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap mengorbankan nyawa dan harta bendanya. Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang, dengan suara keras atau perlahan adalah firman Allah SWT, "Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun waktu sempit..." (QS At-Taubah: 41). Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di pihak Ali tanpa sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib syahid, dan khilafah berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tak ada yang diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan kaum Muslimin. 

3. Syahid di Turki 

Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah Konstantinopel (sekarang Turki), ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid yang sejak lama ia dambakan. Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu Ayub?" Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan. Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan laki-laki besar. 

4. Makamnya Dikeramatkan (???) 

Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, "Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan." Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia dambakan. 
Sebarkan !!! insyaallah Bermanfaat.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ 
 “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” 
Sumber:
www.republika.co.id Sumber-sumber lain yang telah diedit.

Selasa, 11 Oktober 2016

kebohongan berbuah kebohongan


Sebenarnya, seringkali kita bingung sendiri bahwa kita ini kok sangat mudah sekali berbohong dalam kehidupan kita. Akan tetapi sayangnya kebingungan kita itu masih pada taraf pertanyaan bingung-bingungan pula. Ya…, bingung bohongan juga sebenarnya. Selama ini yang kita namakan kebohongan itu masih terbatas hanya pada perbuatan dan perkataan kita yang berhubungan dengan masalah-masalah muamalah (hubungan kemanusiaan) sehari-hari saja. Misalnya, kita dengan sangat mudah berbohong-bohongan dengan teman, dengan keluarga, dengan istri/suami, dengan anak, dengan orang tua, dengan bawahan, dengan atasan, dengan rakyat, dengan pemimpin, dan sebagainya. Bahkan kita dengan sama mudahnya mampu pula untuk membohongi diri kita sendiri, sehingga kadangkala kita bengong saja dibuatnya. “Kok bisa ya tadi saya membohongi diri saya…”, gumam kita setengah nggak percaya.


Akan tetapi…, kita sangat jarang sekali bisa menyadari bahwa kita ini juga sebenarnya telah terlalu sering berbohong kepada Allah saat kita melakukan ibadah atau sebuah syariat agama. Tatkala kita tidak mampu menjadi saksi (syahid) dan sadar (dzikir) atas ungkapan-ungkapan kita, atas gerakan-gerakan (penghormatan, penyembahan, pemujaan) kita kepada Allah selama kita melakukan ibadah tersebut, maka sebenarnya saat itu kita tengah berbohong. Nggak bisa tidak.


Gimana kita nggak berbohong namanya, misalnya dalam shalat, coba...


Seyogyanya saat takbiratul ihram, sebelum membaca Allahu Akbar, kita seharusnya terlebih dahulu benar-benar bersaksi dan sadar bahwa Allah ternyata memang Maha Besar. Makanya kita sampaikan kesaksian kita itu dengan sadar kepada Allah : "Allahu Akbar…, ooo yaa..., ternyata Engkau memang Maha Besar, Ya Allah". Kan begitu yang namanya kita bersaksi itu...?. Dan Allah pastilah membalas, merespon, dan menjawab kesaksian kita saat itu juga. Karena Allah memang sudah menjaminnya: “Ujiibu da’watad daa’a idza da’aanii…, Aku akan menjawab, merespon, panggilan-pangilan, ungkapan-ungkapan, do’a-doa hamba-Ku apabila dia memanggil-manggil-Ku, memuja-muja-Ku, berdo’a kepada-Ku…”, (Al Baqarah 186).


Akan tetapi…, kalau kita nggak menyaksikan kebesaran Allah, padahal saat itu kita tengah mengatakan Allahu Akbar, itu kan namanya kita saat itu sedang NGELINDUR atau paling tidak tengah BERBOHONG ketika membaca takbiratul ihram itu. Dan…, akibat dari tidak mampunya kita menyaksikan kebesaran Allah saat itu, maka yang seketika itu juga kita akan menyaksikan yang selain Wajah-Nya. Otomatis saja sebenarnya. Begitu selesai mengucapkan Allahu Akbar…, maka seketika itu juga BUBAR semuanya. Kita seperti ditarik-tarik dan didorong-dorong kesana kemari oleh berbagai file fikiran yang ada di dalam memori otak kita. Makanya kita cenderung untuk ingin buru-buru untuk menyelesaikan shalat kita. Capek mengembara kesana kemari soalnya.


Untuk membuktikan bahwa apakah kita ini sedang ngelindur dan berbohong atau tidak saat kita mengucapkan sesuatu pujaan penghormatan kepada Allah itu gampang saja sebenarnya. Mari kita bedah masalah ini sedikit dengan mengambil analogi yang sangat dekat dengan kehidupan kita sendiri, yaitu saat kita berbicara tentang cinta misalnya.


Ketika kita mencintai seseorang, maka untuk mengungkapkan cinta kita kepada orang yang kita cintai itu, apakah itu cukup kita lakukan dengan cara mengucapkan kalimat “I Love You” saja, ataukah seharusnya kita lakukan dengan cara memberikan cinta itu sendiri kepadanya dan lalu ungkapan I Love You itu kemudian mengalir ringan dari mulut kita…?. Bahkan tanpa ungkapan I Love You itu sendiripun, kita dan sang kekasih yang kita cintai itupun dapat pula saling merasakan bahwa SIKAP dan KESADARAN kita memang bersesuaian dengan realitas cinta itu sendiri, walau tanpa kata-kata. Dan yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana RESPON, JAWABAN, dari orang yang kita cintai itu atas ungkapan dan pemberian rasa cinta kita kepadanya. Respon cinta pasti pulalah cinta. Kalau ungkapan cinta kita itu tidak berbalas, atau malah dibalas dengan benci, maka saat itu pula cinta kita disebut sebagai cinta bertepuk sebelah tangan. Nggak enak…!.


Hal ini akan sangat berbeda ketika kita bertemu dengan seseorang atau banyak orang dijalanan, lalu kita mengucapkan “I Love You…, I Love You…, Saya cinta kamu…” kepada mereka. Padahal saat itu rasa cinta kepada orang tersebut tidak ada di dalam dada kita. Maka suasananya persis sama dengan ungkapan seekor burung BEO yang pintar berbicara. Misalnya, “selamat pagi bang…, selamat pagi bang…, selamat pagi bang…”, kata sang burung BEO nyerocos terus walau saat itu hari sedang tengah hari bolong, bahkan pada tengah malam sekalipun. Begitu juga sapaan dia dengan ucapan ‘bang” itu dia tujukan kepada siapapun juga, kepada perempuan, anak-anak, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan binatang sekalipun dia sapa dengan ungkapan “bang” itu.


Ya…, si burung BEO mengucapkan selamat pagi kepada abangnya itu tanpa dia berada dalam kesadaran dan kesaksian tentang suasana pagi hari itu dan abangnya itu sendiri. Inikan ngelindur dan berbohong namanya.



Nah…, saat mulai shalat ketika mengucapkan “Allahu Akbar” saja kita sudah berbohong. Seperti burung BEO itulah. Belum lagi setelah itu. Misalnya, saat saya baca "Inni wajjahtu wajhia..., hanief…", kuhadapkan "wajahku kepada Wajah Dia..., lurus… dst", eee..., kita malah menghadap ke sajadah, kita malah menghadap ke arti bacaan shalat, atau malah kita sedang menghadap ke masalah-masalah lain yang muncul silih berganti dihadapan kita. Lha…, bohong dan ngelindur lagi kita kepada-Nya...!.


Belum lagi saat kita mengucapkan do’a: "iyyaKA... na' budu wa iyyaKA nasta'in…". Saat membacanya kanseharusnya kita langsung tunduk dan tawadhu’ TEPAT ke Wajah-Nya. Bukan kemana-mana lagi. Makanya dalam kalimat itu ada KA…, Engkau…, Mu…!. Ada “barangnya” gitu lho. Artinya sebelum kita mengucapkan do’a itu sudah sepantasnya kita bersaksi dan sadar dulu: “Ooo … ya, ke INI saya harus menyembah, dan ke INI pula saya harus minta pertolongan”.


Lha…, kalau tentang Allah sendiri kita belum tahu, maka saat kita mengucapkan KA… ini, kita harus mengarahkan kesadaran dan kesaksian kita kemana…?. Makanya KA… kita selama ini, saat kita menyembah dan minta dituntun itu kadang-kadang adalah pekerjaan kita, adalah masalah-masalah kita yang sedang in, adalah atribut-atribut kemanusian lainnya, seperti patung, gambar, jabatan, harta benda, dan lain sebagainya. Pikiran kita liar, lari kemana-mana, selama shalat itu kita lakukan. Maka jadilah kita ini bohong lagi kepada Allah...!.


Begitu juga…, saat kita mengucapkan "subhanallah, subhanarabiyal a’la, subhanarabbiyal adhim, dsb". Kita ini kan seharusnya benar-benar telah dan sedang MENYAKSIKAN KEMAHASUCIAN ALLAH, KETINGGIAN ALLAH dulu, lalu barulah setelah itu kita teguhkan kesaksian kita itu dengan ungkapan tasbih diatas dan dengan sikap PENYEMBAHAN pula (rukuk dan sujud). Lha wong kita saat itu belum menyaksikan kemahasucian Allah dan ketinggian Allah, lalu tiba-tiba saja kita bertasbih...!. Lalu menyembah dan memuja siapa kita saat itu…?. Lhaaaa..., kan berbohong dan ngelindur seperti burung BEO lagi kita saat itu namanya. Ya nggak, ya nggak…?. Makanya Allah menegor perilaku kita itu dalam ayat berikut:


“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah… (Al Baqarah 165)


Selanjutnya, saat kita menghantarkan do’a: “Rabbana laKAl hamdu…, Wahai Tuhanku…, milik-MU mu segala pujaan ini…”. Dan do’a-do’a: “Rabbigfirli, warhamni, wajburni, warfa’ni, wardzuqni, wahdini, wa’afini, wa’fuanni…, serta do’a-do’a yang lainnya, kita arahkan dan sampaikan kemana MUATAN do’a itu selama ini…?. Kita sampaikan nggak do’a itu kepada yang kita anggap MU itu. Dan MU itu membalasnya nggak muatan do’a kita itu dengan muatan yang lebih dahsyat.


Misalnya, saat kita menyerahkan segala pujaan kepada “MU” itu, maka setelah itu PLONG nggak dada kita ini dari rasa sesak akibat pengaruh rasa sombong untuk ingin dipuja dan puji orang lain. Lalu adakah pula muncul rasa diampuni, rasa dikasihi, rasa ditutupi ke’aiban, rasa rasa diangkat kedudukan, rasa dilimpahi ide-ide untuk mengais rizki, rasa dilimpahi informasi atau pentunjuk, rasa disehatkan, rasa dimaafkan oleh Allah setelah kita mengaturkan do’a kepada “MU” itu…?. Kalau “MU” ini belum pas, maka muatan balasan dari “MU” itu juga nggak akan ada. Kita bertepuk sebelah tangan lagi jadinya.


Yang paling dahsyat adalah saat kita harus mengungkapkan kesaksian kita atas Allah dan Muhammad SAW. "Asyhadualla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Kan seharusnya kita benar-benar menyaksikan Allah dulu baru kita ungkapkan kesaksian kita itu. Begitu juga saat kita harus bersaksi terhadap Rasulullah, bersaksi macam apa yang harus kita lakukan...?. Apakah kita harus membayangkan wajah Rasulullah, penderitaan Rasulullah, atau bagaimana…?. Salah-salah kita bisa sama saja dengan orang yang memuja wajah “XYZ” dalam beribadahnya.


Kalau di sebuah sidang pengadilan, yang namanya bersaksi itu, ya kita haruslah mengetahui persis tentang apa-apa yang akan kita ungkapkan dalam persaksian itu. Lha…, dalam bersyahadah itu, yang seharusnya saat kita bersyahadat itu kesadaran kita langsung tertuju kepada Allah: Ya Allah benar ya Allah hanya Engkau alamat saya menyembah, dan benar ya Allah… Muhammmad SAW adalah Rasulmu, karena apa-apa yang Beliau sampaikan saya buktikan kebenarannya…!, eeee... kesadaran kita yang muncul saat kita bersyahadat itu malah pikiran liar kesana kemari. Bohong dan ngelindur lagi kita dalam bersyahadat itu...!


Dalam mengucapkan salam pun begitu. "Assalamu alaikum, warahmatullahi wabarakatuh...!", itu artinya kan adalah bahwa saat salam itu kita ungkapkan, seharusnya kita menebarkan kepada orang-orang di sekeliling kita tentang keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah yang telah kita dapatkan saat kita shalat itu. Lha apanya yang akan ditebarkan wong salam kita itu kebanyakan juga KOSONG SAJA, nggak ada MUATANNYA.


Kan salam itu seharusnya begini: "nih pak, nih dik, nih nak, nih sahabatku ada keselamatan nih, ada rahmat nih, ada barakah nih dari Allah buat mu ('alaikum, 'alaikum, alaikum, buat semua). Ada muatannya gitu lho...!. Kalau nggak ya kita berbohong dan ngelindur lagi itu namanya saat kita mengucapkan salam itu.


Bayangkan…, untuk sebuah perbuatan SHALAT yang kita lakukan dari hari ke hari, waktu ke waktu, isinya nyaris bohong dan ngelindur melulu. Dari sikap ke sikap, bacaan ke bacaan kita nggak ubahnya dengan seekor burung BEO. Lha…, gimana kita bisa menjadi baik saat kita menjalani hidup ini....?.


Jangankan suasana yang susah dalam shalat seperti diatas, untuk hal yang sederhana saja kita belum tentu lebih baik dari seekor burung BEO. Untuk membuktikannya gampang saja kok. Cobalah bandingkan bagaimana suasana yang melanda dada dan kulit kita saat kita menyebut kata-kata berikut ini. Membacanya boleh saja ditempat yang sepi dan sendirian, atau dimanapun yang kita sukai:


“Piring, gelas, piring, gelas, sendok…!”.


Kemudian sebut pulalah:


“Allah…, Allah…, Allah…!.


Kalau tidak ada bedanya sedikitpun suasana DADA dan KULIT kita saat membaca kata-kata diatas, maka bolehlah kita mulai meratapi diri. Karena boleh jadi saat kita membaca itu mungkin nggak ada bedanya dengan membacanya seekor burung BEO.


Lalu kemudian sebut pulalah:


“Jin, iblis, syetan, gendoruwo, roh gentayangan”


Dan makhluk-makhluk sejenis lainnya….


Kalau saat menyebut nama-nama makhluk jin yang digambarkan (dipersepsikan) orang dengan sangat menakutkan itu, dada kita lalu gemetar, kulit kita lalu merinding, ada rasa takut yan menegakkan bulu roma kita…, bahkan ada pula yang sampai keter-keter dan meracau nggak beraturan (yang katanya tengah kesurupan), dan lain-lain sebagainya, maka berarti saat itu bolehlah kita meratapi diri pula. Karena berarti nama jin, syetan dan sebagainya itu lebih menimbulkan kesan mendalam di dada dan di kulit kita dari pada kita nama Allah…!. Astagfirullah hal adhiem…!. Pantas saja kita ini lebih cenderung untuk berbuat berbohong dari pada berbuat jujur. Karena memang kita lebih terkesan dan terpesona dengan jin, syetan dan iblis yang memang dari sononya sukanya berbohong melulu.


Akibatnya pada diri kita…???. Sungguh sangat menakjubkan…!. BOHONG BERBUAH BOHONG.



Buah Itu

Begitu terbiasanya kita berbohong dihadapan Allah saat kita shalat, maka kebiasaan itupun, tanpa kita sadari, lalu terbawa-bawa pula kedalam kehidupan sehari-hari kita. Cobalah kita amati diri kita dan sekeliling kita agak selirik dua lirik. Nggak usah jauh-jauhlah, ditempat bekerja kita misalnya. Betapa sering dan bersemangatnya kita selama ini membuat rencana-rencana yang konon kabarnya adalah untuk kemajuan perusahaan tempat kita bekerja, dan tentu saja untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama pula. Akan tetapi sayangnya lebih banyak pula rencana-rencana itu adalah rencana bohong-bohongan belaka.


Mari kita lihat bagaimana proses kita merencana itu selama ini melalui rapat-rapat yang intensitasnya cukup tinggi:


· Sebelum menghadiri rapat, kita sudah mulai memuat pulau-pulau mulai dari yang kecil sampai ke yang besar kedalam fikiran kita masing-masing. “Itu kan kerjaan si anu…. Itu kan bukan tanggungjawab saya…. Yang ini barulah bagian saya. Orang lain nggak boleh mengutak-utik bagian saya ini. Yang lain boleh jelek asal yang bagian saya bisa baik”.

· Giliran untuk melaksanakannya barulah kelihatan lagi ngelesnya: “kita terlebih dulu harus membuat detail rencana ini dengan sangat terperinci dengan melibatkan berbagai pihak lain yang berkompeten, dan berbagai alasan lainnya”.

· Akhirnya karena otak kita masing-masing masih berpulau-pulau seperti diatas, ditambah lagi saking rinci dan hebatnya detail rencana yang kita buat, malah jadinya rencana itu nggak bisa dilaksanakan sama sekali. Para pimpinan…, otaknya dibatasi oleh pulau-pulau yang berada diotaknya masing-masing. Dikiranya kotak atau posisinya sebagai pimpinan itu adalah miliknya sendiri. Begitu pula para pasukan dibawah pun lebih banyak berada pada pulau-pulau pikirannya sendiri dalam pekerjaannya sehari-hari. Padahal Indonesia ini walau dikatakan sebagai sebuah negara dengan seribu pulau, namun pulau-pulau itu tetap masih bisa disatukan dengan sebuah nama, INDONESIA.

· Padahal kalau kita berfikir secara sederhana, tidak ada yang tidak bisa dilaksanakan. Karena masalah-masalah kita ini hanyalah masalah yang berulang dari dulu-dulu walau dengan kualitas yang berbeda. Syaratnya hanyalah satu, yaitu temukanlah “sesuatu” yang bisa menyatukan pulau-pulau yang ada disetiap fikiran kita. Dan sesuatu itulah yang kita binding, kita anchoring, kita sandari saat kita menjalankan fungsi kita masing-masing.


Begitu juga di tingkat kota, propinsi, dan bahkan negara, nyaris saja rencana-rencana yang kita buat adalah rencana-rencanaan, rencana bohongan, rapat bohongan, pemeriksaan bohongan, tindakan bohongan, pelaksanaan bohongan.


Subhanallah…, ternyata bohongnya kita dihadapan Allah tadi, ee... ndak tahunya Allah malah benar-benar balik mendorong kita untuk berbuat bohong-bohong berikutnya. Ya seperti kita sekarang inilah. Bangsa kita ini saat ini nampaknya memang tengah dilanda oleh gelombang kebohongan massal.



Masih Ada Harapan…!


Untuk keluar dari lingkaran kebohongan demi kebohongan diatas, masih adakah jalan yang terbentang dihadapan kita…?. Jawabannya…, ADA…!. Dan caranya itupun adalah dengan cara yang sangat sederhana, yaitu jangan BOHONG dihadapan ALLAH. Artinya:


· Janganlah mengaku bahwa Allah Maha Besar (Allahu Akbar), kalau kita belum menyaksikan kemahabesaran Allah.

· Janganlah menyatakan IyyaKA, kalau kita belum sadar penuh kepada MU yang kita tuju.

· Janganlah memuji bahwa Allah Maha Suci (subhanallah), kalau belum menyaksikan kemahasucian Allah.

· Janganlah kita bersyahadat akan Allah, kalau kita belum bersaksi akan ketunggalan Allah, keesaan Allah, dan yang selain Allah adalah fana, tiada. Dan janganlah kita bersyahadat akan kerasulan Muhammad, kalau kita belum menikmati kebenaran ajaran-ajaran Beliau.

· Janganlah kita mengucapkan salam kepada orang lain, kalau muatan salam, kebahagian, kesejahteraan itu belum ada pada diri kita.


Nah…, harapan untuk menjadi TIDAK BOHONG lagi itu sangat terbuka lebar ketika kita bisa menjadi PENYAKSI (SYAHID) akan: kemahabesaran Allah, kemahasucian Allah, kemahaesaan Allah, dan kita menyaksikan pula respon Allah atas apa-apa yang kita keluhkan kepada-Nya. Inikan IHSAN saja sebenarnya.


Karena nggak mungkinlah orang yang IHSAN, yang menyaksikan dan yang sadar akan ALLAH mau untuk berbohong, berbohong, dan berbohong lagi …!.


Nah temukanlah posisi IHSAN tersebut…!.


Demikian

Wassalam

Kamis, 29 Mei 2014

SAMBUT RAMADHAN 1435 H

 

Menyambut Ramadhan Sesuai Tuntunan Nabi

Menyambut Kemenangan
di Bulan Ramadhan
Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)
Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).
Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.
‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,
لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)
Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)
Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.
Para pembaca yang mulia, ….
Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.
Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:
“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)
“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)
Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.
Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.
Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.
Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim
Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas
dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)
Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).
Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :
“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”
Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :
1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.
Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.
2. Nyekar di kuburan leluhur.
Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!
3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.
Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.
Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.
Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.
Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.
Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.
Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)
Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.
Wallähu a’lam..
(Sumber artikel http://dakwahhikmah.wordpress.com/2009/08/20/menyambut-ramadhan-mubarak/ atau http://www.assalafy.org/mahad/?p=340#more-340)

Minggu, 07 Juli 2013

MA RIFATULLAH



                                       MA RIFATULLAH

    1. Kepentingan mengenal Allah (QS. 47:19 , 3:18 , 22:72 -73 , 39:67 ),
    2. Tema pembicaraan ma'rifatullah — Allah Rabbul Alamin (QS. 13:16 , 6:12 , 19 , 29:59 , 24:35 , 2:255 )
    3. Didukung dalil yang kuat:
    1. Dapat meningkatkan iman dan takwa:
      • Kemerdekaan (QS. 6:82 )
      • Ketenangan (QS. 13:28 )
      • Berkah (QS. 7:94 )
      • Kehidupan yang baik (QS. 16:97 )
      • Surga (QS. 10:25 -26 )
      • Keridhaan Allah (QS. 98:8 )

Senin, 18 Maret 2013

Al-Ghazwu Al-Fikri



  1. Al-Ghazwu Al-Fikri (Perang Pemikiran)(QS. 61:8 , 9:32 )
    • Ifsaad Al-Akhlaq (merusak Akhlak) (QS. 15:29 )
    • Tahthiim Al-Fikrah (Menghancurkan Fikrah) (QS. 4:60 )
    • Idzabah Asy-Syakhshiyah (Melarutkankepribadian) (QS. 68:6 , 4:89 )
    • Ar Riddah (menumbangakan Akidah) (QS. 2:109 , 3:149 )
  1. Al-Wala' Lil Kafiriin (Memberikan loyalitas kepada orang Kafir) (QS.5:51 )

Selasa, 05 Maret 2013

KAJIAN


Jujur, Kiat Menuju Selamat

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. 
Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya. Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan  menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda, 
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Definisi Jujur

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)

Keutamaan Jujur

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.” Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama. Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan. Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda, “Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya.

Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak. Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”

Macam-Macam Kejujuran

Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta,
sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta.

Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76).

Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’” Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur,  sebagaimana firman Allah :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)

Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.

Khatimah

Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)

Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)

Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar.

Allah berfirman, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)

Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan. Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)

Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,

“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan
ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan
demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)

RENUNGAN


Anak Jalanan Tanggung Jawab Siapa


Anak jalanan, mungkin kita sudah akrab dan tidak asing lagi dengan figure ini yang juga biasa disingkat AnJal. Mereka sangat mudah kita ditemukan khususnya di sebagian besar kota-kota di dunia.

Dari namanya cukup jelas melukiskan mereka adalah seorang anak-anak yang kesehariannya terbiasa hidup di jalanan, tetapi mungkin lebih spesifik lagi mereka adalah anak kecil yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dijalanan bahkan terkadang tempat tinggal dan bermain mereka juga dijalanan.

Sangat ironis memang, mereka merupakan generasi penerus bangsa yang tergolong masih kecil harus merasakan kerasnya sebuah kehidupan. Bahkan tidak jarang anak jalanan menjadi korban dan target tindak kekerasan dari orang yang tidak bertanggung jawab.

Walupun tidak ada data yang tepat menunjukkan berapa pertumbuhan jumlah anak jalanan, namun dapat dipastikan setiap tahun jumlah mereka selalu meningkat. Oleh karena itu tugas negara dan kita juga sebagai manusia sosial agar ikut membantu dan berperan serta menekan jumlah pertumbuhan mereka.

Seluruh negara di dunia sepakat bahwa mereka adalah masalah sosial bersama, sehingga PBB (United Nations)selaku perkumpulan negara-negara di seluruh dunia telah membentuk badan khusus yang menangani permasalahan sosial anak-anak serta untuk melindunginya dari berbagai tindak kekarasan yang terjadi.  Sudahkan anda peduli?